Di sebuah Salaja (istilah gubug dalam bahasa Bima), saya bersama keluarga bercengkerama sambil membakar jagung yang kebetulan saat itu memasuki musim panen (19/03/2016). Hanya saja sayangnya, jagung yang kami bakar bukan jagung pulen putih khas Bima melainkan jagung kuning yang biasa ditemukan di pasar di kota-kota besar.
Memandang ke arah barat, terhampar sawah nan hijau. Di penghujungnya membentang lautan luas, seolah menyatu dengan persawahan dan gunung-gunung.
Hal ini sebenarnya sudah biasa saya alami saat masa kecil. Hanya saja, karena sedah lama merantau ke Jakarta, masa-masa bakar jagung di tengah sawah dan di Salaja seperti ini menjadi hal yang sangat menarik, sembari bernostalgia dengan masa kecil.
Bedanya, sekarang saya meninkmati semua itu dengan Kiki, sang pujaan hati yang sebentar lagi bakal menjadi istriku.
Ke desa Pidang sebenarnya bukan semata untuk preweding dan berlibur. Lebih penting dari semua itu adalah meminta restu dari ibu, karena beberapa tahun yang lalu Bapak sudah lebih dulu meninggalkan kami.
Karena itu, saya biarkan saja Kiki bersama keluarga untuk saling kenal, terutama dengan ibu. Sesekali mereka tampak berbicara satu sama lain. Tentu dengan bahasa yang berbeda: Indonesia dan Bima. Entah apa yang mereka biscarakan, yang jelas mereka terlihat akrab meski mungkin tidak saling memahami percakapan masing-masing. Hahahaa...
Begitulah kisah ini berlanjut.