Langsung ke konten utama

Dia Juga Berhak Bahagia dengan Pasangan Hidup Pilihannya


Tahun 2016 bisa dibilang tahun yang paling membahagiakan bagi saya dan keluarga besar. Dua pasangan penganten telah memantapkan pilihan untuk melepas masa lajang menuju jenjang pernikahan yang diimpikannya masing-masing. Keduanya pun kini menjalani hidup dengan pilihan terbaiknya untuk mengisi sisa umur yang ada.

Kami termasuk keluarga besar. Saat ini ibu tinggal di kampung dengan kakak tentu beda rumah. Ayah saya telah berpulang ke Rahmatullah tahun 2009 lalu saat menjenguk cucunya, anak dari kakak pertama saya. Dengan alasan tertentu, ayah dimakamkan di Samarinda Kaltim.

Saya punya dua kakak perempuan keduanya sudah menikah dan memilih hidup di kampung halaman dengan suami dan anak-anaknya. Kakak perempuan pertama menikah dengan orang Karanganyar Jawa Tengah, sementara kakak perempuan kedua menikah dengan lelaki satu kampung di Ncera. Kedua kakak saya hanya tamatan SMA karena selepas lulus SMA mereka merantau ke Kaltim untuk bekerja hingga mereka menikah dan memiliki anak.

Saya masih ada tiga adik. Adik pertama Jamal yang kemudian menikah beberapa hari yang lalu dengan seorang gadis pilihannya yang masing satu kampung. Adik kedua Jamil saat ini sedang ambil S2 Notaris di UGM Yogyakarta. Agustus mendatang akan memasuki semester 3. Dan adik terakhir Lei, saat ini sedang kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Pamulang Tangerang Banten, semester 3. 

Saya, lebih dulu menikah sekitar dua bulan yang lalu sebelum memasuki bulan Ramadhan 1437 H. Tepatnya pada tanggal 14 Mei 2016 di rumah kediaman mertua di Kelurahan Bedahan Sawangan Depok Jawa Barat. Sementara Adik saya Jamal menikah dengan Fauziah dua bulan berikutnya, dua hari pasca lebaran Idul Fitri 1437 H. Tepatnya tanggal 09 Juli 2016 untuk akadnya, dan 10 Juli 2016 untuk pesta resepsinya. Mereka melangsungkan pernikahan di kampung halaman Desa Ncera, Belo, Bima, NTB. 

Meski lahir dari rahim yang sama, kami melangsungkan pernikahan di tempat yang berbeda. Jamal dan istri adalah pasangan yang berasal dari daerah yang sama, bahkan desa yang sama, Desa Ncera, Bima NTB. Sementara saya menikah di Depok karena istri dan mertua saya memang asli Betawi Depok. Karena berlatar belakang budaya yang beda, tradisi prosesi pernikahannya pun tentu saja berbeda. 

Keluarga dan keturunan istri saya lahir, besar dan beranak pinak di Depok dan Bogor. Budayanya pun kental dengan tradisi Bogor dan Depok, yakni Budaya Betawi. Saat pernikahanpun saya harus menyesuaikan dengan adat Betawi. 

Sesuai adat Betawi, saya bukan hanya membawa mahar sesuai dengan syariat Islam. Tapi juga membawa uang belanja untuk pesta, tempat tidur, lemari, meja rias, nakas, pakaian dalam, baju tidur, mukena, Al-Quran, sepatu, handuk, tas, make up, dll. Selain itu ada pula roti buaya, roti kepiting, kudangan, dan kue-kue khas Betawi lain yang banyak ragamnya. Semua barang ini hadiah untuk calon mempelai wanita dan digunakan untuk memulai hidup sebagai psangan suami istri.

Lain halnya dengan adat Bima Mbojo saat pernikahan adik saya Jamal. Sesuai tradisi, dia membawa mahar emas, 1 ekor kerbau jantan, 100 kg beras, uang untuk bumbu dapur, kelapa tua, kayu bakar, uang resepsi, parsel-parsel makanan, perlengkapan mandi calon istri, pakaian dalam dan luar calon istri, sepatu, dll. 

Yang paling mencolok perbedaannya adalah saat iringan penganten pria menuju rumah penganten wanita ketika akad. Proses iringannya sih hampir sama. Bedanya pada jenis bawaan dan cara mengiring pengantennya. Saya diiring bersama rombongan keluarga besar pria dengan membawa kue-kue berbaris memanjang dan ada sedikit ritual tertentu. Jarak perjalanannya hanya beberapa meter. 

Lalu disambut oleh kedua orang tua calon penganten wanita dengan kalung bunga dan air putih yang dipercikkan. Setelah itu saya dan rombongan bersalaman dengan kedua ortu calon istri dan keluarga besarnya yang menyambut di pintu gerbang acara resepsi. Akad dan resepsi pun berlangsung di hari yang sama.

Saya Foto Bersama Tim Hadora
Sedang adik saya bersama wali dan rombongan keluarga besar jalan kaki hampir 1 kilo diiringan hadora (Hadrah/Hadroh). Hadora adalah bacaan atau nyanyian shalawat diiringi dengan lantunan nada indah dari hadroh. Alat musik hadroh yakni ada bass dan rebana dipukul dengan irama tertentu sambil berjalan menuju rumah penganten wanita. Pakaian tim hadora merah mencolok, mulai dari baju, celana, kain ikat pinggan, topi dan selendang. Mereka semuanya laki-laki sebanyak 6 orang dengan membentuk dua baris. Kedua baris masing-masing 3 orang dengan barisan saling berhadapan. Barisan pertama menghadap ke arah jalan yang dituju, barisan kedua menghadap rombongan iringan. 

Prosesi nikah adik saya berlangsung dua hari. Hari pertama untuk akad nikah. Dihadiri kedua keluarga besar wanita dan pria. Dan juga kebetulan dihadiri bupati dan wakil bupati Bima, beberapa kepala SKPD, KUA kecamatan dan pejabat desa, RT, dan RW. Prosesi akad ini berlangsung di halaman rumah penganten wanita.

Hari kedua adalah resepsi atau pesta yang berlangsung di lapangan desa Diha, desa tetangga. Diha sebelumnya merupakan desa pecahan dari Ncera yang kemudian berdiri sendiri menjadi pemerintahan desa yang terpisah. Panggung besar terhampar mengambil sebagian sisi lapangan. Meski waktunya singkat dari jam 3 sore sampai masuk waktu magrib, acara resepsi berlangsung meriah. Seperti halnya resepsi nikah saya, resepsi nikah adik saya juga dihadiri Anggun D'Academy Indosiar 3. Anggun menyanyi beberapa lagu diiringi OT (orgen tunggal) hingga acara selesai untuk menghibur tamu undangan yang hadir. 

Sekarang, seperti halnya saya dan istri, Jamal dan istri kembali ke Depok untuk melanjutkan hidup mereka setelah beberapa hari menjalani bulan madu di kampung halaman. 

Artikel Terkait


PENTING!!

Semua tulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pihak mana pun. Jika berasal dari sumber lain, maka akan tertulis jelas pada setiap tulisan.

Semua tulisan bisa diambil, copy, dishare, atau digandakan. Tapi ingat, hargai karya orang dengan mencantumkan sumber aslinya.

© Zain Usman Design by Seo v6